DIA TETAP BERTAHAN
Burung Sriti terbang berkelompok, menari-nari di langit senja yang
oranye. Tak jemu aku memandang langit yang penuh warna itu biru, merah dan
jingga. Kuayunkan sapu lidi searah laju angin, sambil kunikmati hembusan angin
sore yang menenangkan jiwa. Di sela-sela hembusan angin itu tercium bau yang
kurang sedap “baunya seperti dari kolam”, ketika kutengok ke sumber bau, aku
terkejut melihatnya terkapar terenggap-enggap tak berdaya, sampai-sampai dia
tak mampu lagi menahan berat tubuhnya dan dia terbalik, kupikir dia telah mati, tapi kulihat siripnya masih
bergerak “ dia masih hidup? Oh ikan Koiku! bertahanlah aku akan segera
menolongmu”. Segera aku mengambil gayuh, dan kuisi gayuh itu dengan air bersih,
perlahan kuangkat tubuh si Koi dan kupindahkan ke dalam gayuh. Aku tak tega
melihatnya, sisiknya terkelupas, dan napasnya tersengal-sengal, rasanya aku
ikut merasakan sakit, kupikir dia sebentar lagi dia akan berakhir ”pokoknya aku
tak mau melewatkan detik-detik terakhirku bersama Koi!”.
Lima menit sudah aku memandanginya,
tapi si Koi masih tetap bertahan hidup, dia berulang kali dia berusaha untuk
menegakkan tubuhnya, berulang kali dia mencoba dan berulang kali pula dia
terbalik kembali, sampai suatu saat “ dia berhasil! Ayo Koi bertahanlah “. Aku
begitu girang melihatnya, tapi… tak lebih dari dua detik tubuhnya roboh
kembali, “Oh Koi How pity you are!”
Tiba-tiba terdengar suara ibu
memanggilku dari lantai dua “ Diah! Tolong angkatkan jemuran, dan pindahkan
baju yang telah di setlika ke almari “. Aku tidak bisa menolak panggilan itu “
inggih ibu! “, tanpa terasa kakiku telah bergerak cepat menuju lantai dua,
kutinggalkan si Koi sendiri yang terus bertahan hidup di dalam gayuh.
Setelah pekerjaanku selesai, aku
kembali menengok si Koi dalam gayuh. Ku lihat dia sedang berjuang melawan maut,
tubuhnya berputar-putar seirama dengan bentuk gayuh. Dia semakin melemah …
lemah…lemah…, napasnya tinggal 1, 2, 3, seakan dia ingin mengucapkan selamat
tinggal padaku. Tak terasa air mataku jatuh ke gayuh, terus mengucur tak
terbendung, seketika air dalam gayuh menjadi hangat, air mataku mengandung
seribu bahasa, terus memberikan semangat pada si Koi untuk bertahan. “ Koi, apa
kau lapar ? ku ingat aku belum memberimu makan sehari ini”. Kemudian kubuka
toples tempat makanan Koi, ku ambil tiga butir sentrat dan aku menaburnya dalam
gayuh, “ ini makanlah Koi “ Koi terlihat ingin meraih butiran-butiran sentrat
itu, namun ia tak sanggup menggapainya . “ Koi aku ikhlas kau pergi, bila
kepergianmu dapat mengakhiri rasa sakit yang kau derita, mungkin kepergianmu
adalah yang terbaik “. Perlahan aku melangkah meninggalkan gayuh itu, dan
melupakan Koi.
Di early morning banget, setelah
sholat subuh, seperti biasa aku mencuci beras untuk ditanak, sambil ku siram
butiran-butiran beras itu dengan air sambil kuremas-remas. Tiba-tiba mataku
memandang kearah gayuh berwarna pink yang terletak di atas gentong, tiba-tiba
aku teringat “ Oh iya, itu kan gayuh tempat Koi, btw gimana kabar si Koi ya?”
dengan was-was aku melihat dalam gayuh,
jasad si Koi nampak pucat dan terbujur kaku, Koi telah pergi … , setelah
sekian lama dia bertahan kini telah berakhir sudah. Dan satu yang ku sesalkan
aku melewatkan saat-saat terakhir bersamanya.
By:
DIAH AYU P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar